Cinta Masa SMA

Ana menatap layar Handphone miliknya dengan derai air mata. Hatinya sedih dan kecewa membaca sebuah pesan singkat yang dikirim oleh seseorang yang sangat ia kenal. “Bukankah sudah ku peringatkan kamu agar menjauhi adikku, mengapa kamu tidak mengerti juga.” Begitu kira-kira isi smsnya. Ana mengusap air mata yang mengalir deras di pipinya. Sudah sebulan ia menerima pesan serupa. Bahkan beberapa pesan ada yang terkesan meneror dan mengancam dirinya. Pesan itu datang dari kakak Pras kekasihnya, karena tidak menyukai hubungannya dengan Pras. Ia belum menceritakan perihal teror dan ancaman itu kepada Pras. Gadis SMA itu merasa tidak enak terhadap sang kekasih. Jika ia mengadukan pesan-pesan itu pada Pras, ia khawatir akan menimbulkan seteru antara Pras dan saudaranya. Namun ia juga merasa berat jika harus meninggalkan Pras. Apalagi jika mengingat proses perkenalan mereka yang sangat indah dan berkesan. Rasanya ia tidak akan rela mengakhiri hubungannya dengan Prass begitu saja.
Setahun yang lalu, ketika Ana pulang sekolah berjalan kaki. Seorang Pemuda berseragam OSIS mencegatnya di gang tidak jauh dari rumahnya. Pemuda itu adalah Nada, kakak kelasnya. Ia bingung melihat sikap aneh Nada yang menatapnya sambil tersenyum penuh arti. Mereka berbicara di pinggir jalan sempit itu. “An, boleh minta nomernya nggak?” Kata Pemuda jangkung itu. “Nomer apaan Mas? Nomer sepatu apa nomer togel?” Canda Ana santai menanggapi pemuda yang sangat ia kenal itu. “Nomer HP lah. Ana berfikir sejenak, gadis yang belum genap 17 tahun itu tidak mengira jika Nada meminta nomor HPnya. Apakah Nada menyimpan perasaan padanya? Tapi mengapa baru ditunjukkan sekarang. Padahal mereka sudah lama saling kenal dan cukup dekat. “Buat apa mas? Tanya Ana malu-malu. “Buat pasang togel, Wkakakakaka.” Nada terpingkal-pingkal. “Asemane” Ana membatin. “Temenku ada yang minta nomermu An, anak SMA sebelah.” “Anak SMA sebelah siapa mas? “Si Pras, kenal nggak? “Denger namanya aja baru sekarang. Anaknya yang gimana sih? “Ganteng pokoknya terus anaknya juga baik. Dia pengen kenalan sama kamu, boleh nggak?” “Emm, Boleh deh, buat nambah temen.” Ana menyebutkan nomor HPnya. “Ya udah, nanti nomermu tak kasihin ke dia. Tunggu telepon darinya ya.” “Iya aja deh.” Ucap Ana ketus. “Makasih ya An, monggo kalau mau meneruskan perjalanannya.” Ucap Nada lebay.
Semenjak Ana memberikan nomor HPnya kepada Nada hampir setiap hari sebuah nomor tak dikenal meneleponnya. Namun bukannya dijawab malah dia kerjai si penelepon. Jadi setiap kali nomor itu menelepon, ia menekan tombol Answer namun ia tidak bersuara. Ia biarkan si penelepon berhalo-halo ria sendirian. Hingga suatu hari ia pun penasaran sendiri terhadap si penelepon. Akhirnya ia putuskan untuk berbicara dengan orang itu. Suatu malam di kamar Ana. “Halo, ini siapa sih kok nelpon-nelpon aku?” “Ini nomernya Ana ya?” “Iya. Kamu siapa?” “Aku Pras,” “Pras? Prasmanan gitu? Hihi” Ana meledek “Bisa aja, Namaku Prasetyo dipanggil pras.” “Oh gitu” “Iya, aku temennya Nada, kenal nggak?” “Mas Nada? Ya kenal. Emang kamu tau aku?” “Kalau nggak tau ngapain aku nelpon-nelpon kamu. Hehe” “Tahu darimana?” “Dari Mbah dukun, hehe, nggak-nggak” “Sompret, nih orang pinter ngelawak juga.” Bisik Ana. “Jangan-jangan kamu muridnya Eyang Subur ya?” Ledek Ana. Sontak Pras tertawa cekakakan. “Kok tahu sih? Hehe. Aku udah lama liat kamu. Kamu kalau berangkat sekolah kan selalu lewat gang depan rumahku. Aku sering nongkrong di gang depan sama temen-temenku. Tapi mungkin kamu nggak ngeh ya sama aku?” “Masa sih? Aku sering liat anak-anak nongkrong sih, tapi aku nggak tahu kamu yang mana.” “Gimana kalau kita ketemuan aja biar bisa liat langsung.” “Buseet, ini orang To the point amat ya, tapi aku juga penasaran sih. Gimana ya?” Ana berbicara pada dirinya sendiri. “Kalau kamu berani, kamu main aja ke rumahku. Soalnya ayah ibuku pasti nggak ngijinin kalau aku ketemuan sama cowok di luar. Kata nenek itu berbahaya,” Kata Ana. “Ya udah besok aku ke rumahmu.” Kata Pras. Ana sempat kaget dengan keberanian Pras mendatangi rumahnya.
Kedua orangtuanya pun menyambut hangat pemuda itu. Rupanya Ia sudah pernah melihat wajah pras, ia pun sempat menyukai pemuda itu, hanya saja ia tidak mengetahui namanya. Setelah pendekatan cukup lama, akhirnya mereka memutuskan menjalin kasih. Orangtua Ana memberi lampu hijau, asal hubungan mereka tidak mengganggu sekolah. Namun tidak dengan keluarga Pras. Kakak-kakak perempuan Pras yang berjumlah 4 orang tidak ada yang menyukai Ana, mereka menganggap Ana hanyalah gadis belia yang ingin bermain-main dengan Pras dan mengacaukan konsentrasi belajar Pras. Maklum saja mereka khawatir kalau Pras sampai tidak lulus sekolah karena keasyikan pacaran. Apalagi rencananya selepas SMA, Pras akan masuk sekolah Polisi. Ana hanya pasrah terhadap penilaian buruk kakak-kakak Pras.
“Ana, kamu kenapa sayang?” Tiba-tiba sebuah suara lembut mengagetkan lamunan Ana. Gadis manis itu segera menyembunyikan HPnya di balik bantal. Ia juga menghapus air matanya. Ia menoleh pada ibunya yang telah lama berdiri di pintu kamarnya. Gadis itu lupa menutup pintu kamar. Rosita, Ibu Ana, mendekati putrinya. Wanita ayu itu duduk di ranjang dekat dengan Sang Putri tergeletak. “Ada apa nduk? Kamu ada masalah? Ceritakan pada Ibu.” Ucap Rosita sambil membelai lembut rambut Ana. Ana diam sejenak, ia bingung harus berkata apa. “Ana bingung bu.” “Bingung kenapa? Coba ceritakan ke ibu, siapa tahu ibu bisa bantu.” Ana menatap wajah ibunya. Selama ini Ia tidak pernah menyembunyikan rahasia dari sang ibu. Mungkin Ia harus menceritakan kesedihannya agar merasa sedkit tenang. “Sudah sebulan Ana dapat sms dari kakak-kakaknya Pras. Mereka minta Ana untuk menjauhi Pras, mereka mau Ana dan Pras putus.” Air mata Ana kembali mengalir. Rosita mengerutkan keningnya. “Kenapa begitu?” “Ana juga nggak tahu bu, coba ibu baca sms-sms mereka aja” Ana memberikan HPnya pada sang ibu. Rosita nampak serius membaca satu persatu sms di HP Ana. Setelah selesai membaca, Rosita memeluk Ana. “Mereka begitu karena belum kenal dengan Ana, mungkin Ana juga harus kenal dan dekat dengan mereka. Seperti bunyi pepatah, Tak Kenal Maka Tak Sayang.” “Jadi menurut ibu Ana harus dekati mereka? Tapi caranya gimana bu?” “Itu gampang Nak. Sekali-sekali mainlah ke rumah Pras, Temui mereka, tunjukkan pada mereka bahwa Ana adalah gadis baik-baik, tidak seperi yang mereka kira.” Ana mengerti maksud ibunya. Ia memeluk erat Sang Ibu yang sangat ia sayangi. Lalu untuk hari-hari selanjutnya Ana sering bermain ke rumah Pras, walau di awal terasa kaku berhadapan dengan kakak-kakak Pras, namun lama-lama apa yang dikatakan ibunya benar. Kakak-kakak pras mulai mau menerima dirinya. Berkat sifat humoris dan sikap sopannya, Ana berhasil meluluhkan hati mereka.
Suatu hari Ayah Pras meninggal dunia. Ana dan kedua orangtuanya datang melayat. Melihat latar belakang dan etiket baik keluarga Ana, kakak-kakak Pras merasa tersentuh dan berharap agar hubungan Pras dan Ana dapat dilanjutkan ke jenjang pernikahan. Sayangnya kedua orangtua Ana menolak karena mereka menyadari bahwa kedua ABG itu masih SMA dan memiliki jalan hidup yang masih sangat panjang. Akhirnya mereka hanya berharap semoga hubungan keduanya terus terjalin baik dan harmonis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Doodle Art

Neraca Pembayaran

Pertumbuhan, Kesenjangan dan Kemiskinan