memori
Hari masih gelap, tetapi sekolah sudah terlihat ramai. Hari itu
murid-murid kelas 3 akan berdarmawisata, sekaligus akan mengadakan acara
perpisahan di Sukabumi. Aku dan teman-teman pagi-pagi sekali sudah tiba
di sekolah dan siap untuk berangkat. Kira-kira pukul setengah enam pagi
kami telah berangkat dengan menggunakan bis. Sepanjang perjalanan, kami
berdiskusi untuk mempersiapkan kembali rencana yang telah kami buat,
untuk acara perpisahan nanti.
“Seperti yang telah kita rencanakan kemarin,” Lintang sang ketua kelas membuka diskusi, “Jadi nggak, kelas kita nyanyi buat acara perpisahan?” sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh teman-temannya.
“Jadi lah, Lin. Masa udah capek-capek latihan terus nyanyinya nggak jadi,” kata Oliv, yang kemudian disambut anggukan dari teman-teman lainnya.
“Oke, oke, sebentar. Aku mau catet dulu sumbangan acara dari kelas kita,” kata Lintang, kemudian mulai mencatat.
“Ada lagi nggak, nih, yang mau nyumbang acara? Selain tadi, yang nyanyi sekelas,” tanya Wulan pada teman-teman lainnya.
“Aku mau baca puisi. Boleh nggak?” tanya Dina.
“Boleh banget!” kata Lintang.
“Tapi bacanya berdua, aku sama Fifi,” lanjut Dina.
“Boleh, yang penting udah nyumbang acara,” jawab Lintang, kemudian mencatat lagi.
“Aku tetep ngiringin anak-anak nyanyi kan, nanti?” tanya Raihan.
“Iya, sekalian buat ngiringin puisi juga bagus,” jawab Lintang sambil mencatat.
“Kalau ngeband, jadi nggak Lin?” tanya Aryo sambil memainkan stik drum yang dibawanya.
“Jadi. Tapi personil lainnya pada siap nggak?”
“Beres. Band kita udah siap kok, lahir batin,” jawab Aryo santai.
Lintang menuntaskan catatannya. “Ada lagi nggak, yang mau nyumbang acara?” tanyanya pada seluruh teman-temannya. Tapi tidak ada yang menjawab.
“Udah segitu aja cukup, Lin. Nggak usah banyak-banyak. Nanti nggak ditampilin semua,” ujar Ayu.
“Iya, kamu bener, Yu. Tapi ngomong-ngomong, teks lagunya Westlife yang kemarin udah pada hapal semua, belum?”
“Udah Lin. Kita tinggal nyanyi aja,” jawab Ayu.
“Oke! Kalau udah semua, aku mau kasih catatan ini dulu ke guru,” kata Lintang.
Sekitar pukul setengah sebelas kami telah tiba di Sukabumi. Tepatnya di sebuah tempat wisata disana. Udaranya sangat sejuk. Karena semuanya sudah kelaparan, guru-guru pun memutuskan untuk kami makan siang dahulu, sebelum menikmati tempat wisata tersebut. Masing-masing diberi kotak makanan dan diberi kebebasan untuk duduk dimana saja, asal jangan berpencar terlalu jauh dari pengawasan guru. Aku dan teman-teman lainnya langsung mencari tempat yang teduh.
“Di bawah pohon sebelah sana, kelihatannya bagus tuh, tempatnya!” ujar Fifi pada yang lainnya.
“Nggak ah, disitu kelihatannya banyak semut,” kataku, yang disambut beberapa teman lainnya.
“Kalau begitu yang di sebelah sana aja, gimana? Kelihatannya teduh dan nggak banyak semut,” kata Dina sambil menunjukkan pada yang lainnya.
Semua pun mengangguk setuju. Kami segera menuju kesana.
Disana kami makan sambil latihan menyanyi untuk acara nanti. Setelah makan, kami berfoto-foto. Kemudian berkumpul kembali ke tempat yang telah ditunjuk oleh guru untuk mengumpulkan muridnya. Setelah diberi beberapa peringatan dan petunjuk, kami diperbolehkan menjelajah tempat itu sepuasnya, sampai waktu yang telah ditentukan. Aku dan yang lainnya menuju ke beberapa tempat yang unik dan berfoto disana, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk menjelajah kebun teh.
Di kebun teh, sudah ada bapak kepala sekolah dan beberapa guru yang telah lebih dulu kesana. Sebenarnya kami juga ingin kesana, tapi jalanannya menurun dan licin. Nabil dan Sigit sudah duluan kesana. Memang antara kami, anak cowok dan anak cewek jarang ada yang mau saling membantu. Terutama anak cowok yang maunya menang sendiri. Tapi saat itu, beberapa anak cowok membantu kami untuk turun.
“Sini, siapa yang mau duluan turun?” tanya Andi sambil bersiap.
“Eh, siapa duluan tuh! Aku nggak berani,” kata Wulan agak takut.
“Aku bantuin deh!” kata Ega sambil menjulurkan tangannya pada kami.
Lintang maju duluan. Perlahan sambil dipegangi ia menuruni jalan setapak yang licin itu. Yang lain kemudian mengikuti. Aku pun sebenarnya takut, tapi aku berusaha untuk melaluinya. Sampai di bawah, sudah ada Sulthon yang menunggu.
“Di bawah juga licin! Nanti di dekat jembatan hati-hati!” teriaknya memperingati sambil membantu kami melompati semak belukar.
Ketika Wulan sudah sampai di bawah dan dipegangi Sulthon, saat melewati semak belukar, ternyata tanah itu sangat licin. Karena kurang hati-hati, Wulan pun terpeleset. Tapi badannya tak sengaja mendorong Sulthon sehingga Sulthon juga ikut terpeleset dan badannya jatuh ke semak belukar yang penuh Lumpur.
“Aduh, maaf ya, Ton! Aku nggak sengaja ngedorong kamu! Jadinya kamu yang jatuh. Maaf ya. Kamu nggak apa-apa, kan?,” ucap Wulan meminta maaf. Ia lalu bangun dengan dibantu Fifi dan Oliv. Tampaknya ia masih kaget dengan kejadian barusan.
“Iya, nggak apa-apa. Cuma kotor bajunya,” jawab Sulthon sambil bangkit dan membersihkan bajunya dari lumpur.
Ega dan Andi bukannya merasa kasihan, malah menertawakan Sulthon. Tapi mereka membantu membersihkan baju Sulthon. Kemudian mereka menyusul anak-anak perempuan yang sudah berjalan duluan.
Sampai di kebun teh, kami berfoto-foto. Udaranya sangat sejuk. Baru sebentar kami menyusuri kebun teh, hujan mulai turun. Semakin licin tanah yang kami pijak.
“Gimana nih? Udah mulai hujan. Apa kita balik lagi saja?” kata Dina mulai panik.
“Wah, jangan! Percuma kita sudah susah-susah kesini!” bantah Aryo sambil melindungi kamera yang ia bawa dari hujan.
“Terus, sekarang kita mesti gimana?” tanyaku juga mulai panik. Hujan semakin lebat.
“Kita jalan aja terus. Ikutin jalan ini,” kata Andi, lalu menunjukkan arah dan menuntun teman-temannya.
“Memang kamu tahu jalan disini, Ndi?” tanya Aryo ragu.
“Ya udah. Ikutin aja feeling aku,” jawab Andi sok yakin.
Anak perempuan diam saja. Mereka nggak tahu sama sekali jalan pulang. Mereka pasrah mengikuti Andi daripada nggak bisa pulang sama sekali. Hujan mulai reda. Kami semua kemudian singgah di sebuah rumah yang terbuat dari bambu. Di dalamnya tidak ada orang. Hanya ada tumpukan jerami. Kami beristirahat disana.
“Akhirnya sampai juga!” kata Andi kemudian duduk dan menselonjorkan kaki.
“Sampai gimana, Ndi? Ini sih, namanya kita masih nyasar, tau!” kata Ega sambil mendorong badan Andi.
“Ya, daripada kita berkeliaran di jalan dan nggak tahu arah, lebih baik kita istirahat dulu disini,” jawab Andi kalem.
Sementara itu, Aryo, Raihan, dan Sulthon melihat air terjun. Tak jauh dari rumah itu.
“Eh, sini lihat! Ada air terjun disana!” teriak Aryo pada yang lainnya sambil menunjuk ke arah sekitar pepohonan.
Semuanya keluar dari rumah itu dan melihat ke arah yang ditunjuk oleh Aryo.
“Ke sana, yuk! Nanti kita foto-foto disana!” kata Lintang girang.
“Boleh juga. Ayo kesana!” sambut Dina dan yang lainnya semangat.
Meski jalannya licin apalagi sehabis hujan, tapi mereka tetap bersemangat menuruni tangga tanah yang licin itu. Namun Iko dan Fifi memilih untuk tidak ikut ke air terjun.
“Kenapa kalian nggak ikutan?” tanya Raihan pada Fifi dan Iko.
“Aku mau nemenin Iko, soalnya kalau kedinginan, asmanya bisa kambuh,” jawab Fifi sambil membawa Iko masuk.
“Sohib banget kalian berdua,” komentar Raihan, kemudian menyusul anak-anak lain ke air terjun.
Di air terjun, airnya sangat dingin. Kami bermain air disana, saling mencipratkan air, dan tak lupa berfoto-foto. Tapi beberapa menit kemudian, hujan deras pun turun kembali. Kami segera kembali ke rumah bambu tadi dengan menaiki undakan tanah yang licin.
Tiba di rumah bambu tadi, kami terduduk kelelahan. Baju kami basah kuyup, tapi untungnya tas tadi kami tinggal di dalam bis, jadi tidak ikut kebasahan. Hujan deras masih mengguyur di luar sana. Aku melihat jam dari handphone. Sudah jam setengah tiga. Sebentar lagi kami harus segera berkumpul bersama guru-guru lainnya di dekat bis. Aku memberitahu yang lainnya.
“Udah jam setengah tiga, nih. Sebentar lagi, kan, kita disuruh kumpul,”
“Oh iya ya! Waduh, kalau hujan seperti ini terus, gimana kita bisa pulang?” kata Ayu pada yang lainnya.
“Kita telpon Bu Sawitri aja! Bilang kalau kita terjebak hujan di kebun teh,” usul Lintang.
“Bener juga. Nih, pakai saja handphone aku,” kata Fifi, lalu menyerahkan handphonenya pada Lintang.
Lintang meraih handphone itu dan mencoba menghubungi wali kelas. Namun saat dicoba tidak bisa. Ternyata tidak ada sinyal handphone disana.
“Waduh, kok nggak ada sinyalnya, ya?” kata Lintang sambil melangkah ke dekat pintu untuk mencari sinyal.
Semuanya melihat ke handphone masing-masing yang untungnya tidak ikut basah karena kehujanan tadi. Memang benar, sinyalnya tidak ada. Lintang masih berusaha mencari sinyal. Beberapa menit kemudian, sinyal handphone itu muncul seiring redanya hujan. Segera ia menghubungi wali kelas. Semuanya harap-harap cemas menanti hasil pembicaraan Lintang dengan Bu Sawitri.
Tak sampai semenit, Lintang mematikan handphonenya. Semuanya bertanya.
“Gimana, Lin? Apa kata Bu Sawitri?”
“Bu sawitri bilang kalau kita disuruh nunggu hujan dulu sampai agak reda, setelah reda langsung kita cari jalan pulang. Guru-guru dan anak-anak lainnya bersedia menunggu disana,” jawab Lintang pada teman-temannya.
“Itu hujan udah agak reda. Ayo kita segera cari jalan pulang!” kata Andi, lalu memimpin teman-temannya.
Baru beberapa langkah mereka berjalan, lewatlah Nabil dan Sigit bersama anak-anak kelas lainnya.
“Nabil!” panggil Ega.
Nabil menoleh, “Lo, kok, kalian masih disini?” tanyanya.
Ega menghampiri Nabil dan Sigit.
“Kalian tahu nggak, jalan balik ke tempat guru-guru dan anak-anak lain kumpul?”
“Makanya kita sekarang mau kesana,” jawab Sigit.
“Ya udah kita bareng aja,” kata Ega. Lalu menoleh pada anak-anak lain yang berkumpul di belakangnya.
“Ayo, kita ikutin Nabil sama Sigit aja!”
Kami pun mengikuti rombongan Nabil dan Sigit. Meski diiringi gerimis dan lagi-lagi melewati jalan yang becek, sambil berlari kami mengikuti mereka. Supaya memudahkan kami berlari, akhirnya kami melepaskan sepatu dan mengumpulkannya pada sebuah plastik besar, yang kemudian dibawa oleh Ega. Ternyata jalannya berbeda dengan jalan sewaktu berangkat tadi. Kali ini tidak melewati tanjakan yang licin, tetapi melewati rerumputan pendek yang basah oleh hujan.
Bermula dari Ega yang jatuh gara-gara terpeleset rumput yang basah, anak laki-laki lainnya mengikuti jejak Ega. Mereka sengaja terpeleset, lalu meluncur di atas rumput yang basah itu. Kemudian tertawa bersama. Dengan baju yang basah kami semua terus berlari, hingga sampailah di tempat guru-guru dan anak-anak lain berkumpul. Lalu kami segera masuk ke bis, mengambil tas masing-masing dan membawanya keluar. Kemudian menuju kamar mandi terdekat, untuk berganti baju. Beruntung aku dan teman-teman membawa baju ganti. Kami buru-buru mandi sekalian dan berganti baju, lalu berkumpul di dekat bis.
Kepala sekolah memberi tahu kami untuk mempersiapkan panggung untuk acara perpisahan nanti malam. Kami berbagi tugas. Ada yang mendirikan panggung, ada yang mempersiapkan alat-alat lain untuk acara. Aku dan teman-teman mendaftarkan acara yang akan kelas kami bawakan pada panitia acara. Lalu kami sekelas berkumpul untuk berlatih nyanyi lagi sebelum tampil di panggung nanti.
Acara perpisahan dimulai pukul setengah delapan malam, setelah kami selesai sholat dan makan. Dimulai dari sambutan kepala sekolah, ketua panitia, lalu wali kelas. Setelah itu acara hiburan. Kami menunggu giliran kelas kami untuk menampilkan hiburan. Tak lama, Dina dan Fifi maju ke panggung untuk membacakan puisi dengan diiringi petikan gitar Raihan. Lalu giliran kami sekelas untuk bernyanyi. Lagu My Love-nya Westlife pun kami nyanyikan. Setelah selesai acara hiburan, dilanjutkan acara api unggun. Aku dan teman-teman duduk lesehan membentuk lingkaran di atas rumput yang masih agak basah. Kami merenungi apa yang kami telah alami selama tiga tahun ini dan peristiwa yang terjadi hari ini.
“Tiga tahun tuh, ternyata cepet banget, ya,” kata Dina pelan.
Semuanya mengangguk.
“Terutama hari ini,” kata ku,” Waktu di kebun teh tadi. Nggak biasanya anak cowok bantuin kita. Bahkan mereka sampai ikut-ikutan nyasar bareng kita,”
“Itu bener,” kata Fifi,” Pengalaman hari ini tuh, nggak bakal aku lupain. Pertama kalinya anak cowok nggak menang sendiri. Anak cowok dan anak cewek saling kerjasama, saling tolong menolong. Ternyata mereka semua itu sebenarnya baik, tapi kita aja yang anggap mereka anak-anak bandel dan jahil,”
“Hari ini kita jadi saling mengerti. Bahwa di antara kita semua seperti layaknya bersaudara. Tapi sebentar lagi kita akan berpisah. Kita harus berjanji, akan terus mengingat peristiwa hari ini, baik cewek maupun cowok, untuk mengingatkan bahwa persahabatan kita tak akan hilang karena terpisah oleh jarak,” kata Lintang, lalu mengisyaratkan untuk saling memeluk teman-temannya.
Kemudian malam itu, setelah acara perpisahan selesai, kami pun pulang, dengan membawa sebuah pengalaman dan kenangan yang tidak akan pernah kami lupakan.
“Seperti yang telah kita rencanakan kemarin,” Lintang sang ketua kelas membuka diskusi, “Jadi nggak, kelas kita nyanyi buat acara perpisahan?” sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh teman-temannya.
“Jadi lah, Lin. Masa udah capek-capek latihan terus nyanyinya nggak jadi,” kata Oliv, yang kemudian disambut anggukan dari teman-teman lainnya.
“Oke, oke, sebentar. Aku mau catet dulu sumbangan acara dari kelas kita,” kata Lintang, kemudian mulai mencatat.
“Ada lagi nggak, nih, yang mau nyumbang acara? Selain tadi, yang nyanyi sekelas,” tanya Wulan pada teman-teman lainnya.
“Aku mau baca puisi. Boleh nggak?” tanya Dina.
“Boleh banget!” kata Lintang.
“Tapi bacanya berdua, aku sama Fifi,” lanjut Dina.
“Boleh, yang penting udah nyumbang acara,” jawab Lintang, kemudian mencatat lagi.
“Aku tetep ngiringin anak-anak nyanyi kan, nanti?” tanya Raihan.
“Iya, sekalian buat ngiringin puisi juga bagus,” jawab Lintang sambil mencatat.
“Kalau ngeband, jadi nggak Lin?” tanya Aryo sambil memainkan stik drum yang dibawanya.
“Jadi. Tapi personil lainnya pada siap nggak?”
“Beres. Band kita udah siap kok, lahir batin,” jawab Aryo santai.
Lintang menuntaskan catatannya. “Ada lagi nggak, yang mau nyumbang acara?” tanyanya pada seluruh teman-temannya. Tapi tidak ada yang menjawab.
“Udah segitu aja cukup, Lin. Nggak usah banyak-banyak. Nanti nggak ditampilin semua,” ujar Ayu.
“Iya, kamu bener, Yu. Tapi ngomong-ngomong, teks lagunya Westlife yang kemarin udah pada hapal semua, belum?”
“Udah Lin. Kita tinggal nyanyi aja,” jawab Ayu.
“Oke! Kalau udah semua, aku mau kasih catatan ini dulu ke guru,” kata Lintang.
Sekitar pukul setengah sebelas kami telah tiba di Sukabumi. Tepatnya di sebuah tempat wisata disana. Udaranya sangat sejuk. Karena semuanya sudah kelaparan, guru-guru pun memutuskan untuk kami makan siang dahulu, sebelum menikmati tempat wisata tersebut. Masing-masing diberi kotak makanan dan diberi kebebasan untuk duduk dimana saja, asal jangan berpencar terlalu jauh dari pengawasan guru. Aku dan teman-teman lainnya langsung mencari tempat yang teduh.
“Di bawah pohon sebelah sana, kelihatannya bagus tuh, tempatnya!” ujar Fifi pada yang lainnya.
“Nggak ah, disitu kelihatannya banyak semut,” kataku, yang disambut beberapa teman lainnya.
“Kalau begitu yang di sebelah sana aja, gimana? Kelihatannya teduh dan nggak banyak semut,” kata Dina sambil menunjukkan pada yang lainnya.
Semua pun mengangguk setuju. Kami segera menuju kesana.
Disana kami makan sambil latihan menyanyi untuk acara nanti. Setelah makan, kami berfoto-foto. Kemudian berkumpul kembali ke tempat yang telah ditunjuk oleh guru untuk mengumpulkan muridnya. Setelah diberi beberapa peringatan dan petunjuk, kami diperbolehkan menjelajah tempat itu sepuasnya, sampai waktu yang telah ditentukan. Aku dan yang lainnya menuju ke beberapa tempat yang unik dan berfoto disana, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk menjelajah kebun teh.
Di kebun teh, sudah ada bapak kepala sekolah dan beberapa guru yang telah lebih dulu kesana. Sebenarnya kami juga ingin kesana, tapi jalanannya menurun dan licin. Nabil dan Sigit sudah duluan kesana. Memang antara kami, anak cowok dan anak cewek jarang ada yang mau saling membantu. Terutama anak cowok yang maunya menang sendiri. Tapi saat itu, beberapa anak cowok membantu kami untuk turun.
“Sini, siapa yang mau duluan turun?” tanya Andi sambil bersiap.
“Eh, siapa duluan tuh! Aku nggak berani,” kata Wulan agak takut.
“Aku bantuin deh!” kata Ega sambil menjulurkan tangannya pada kami.
Lintang maju duluan. Perlahan sambil dipegangi ia menuruni jalan setapak yang licin itu. Yang lain kemudian mengikuti. Aku pun sebenarnya takut, tapi aku berusaha untuk melaluinya. Sampai di bawah, sudah ada Sulthon yang menunggu.
“Di bawah juga licin! Nanti di dekat jembatan hati-hati!” teriaknya memperingati sambil membantu kami melompati semak belukar.
Ketika Wulan sudah sampai di bawah dan dipegangi Sulthon, saat melewati semak belukar, ternyata tanah itu sangat licin. Karena kurang hati-hati, Wulan pun terpeleset. Tapi badannya tak sengaja mendorong Sulthon sehingga Sulthon juga ikut terpeleset dan badannya jatuh ke semak belukar yang penuh Lumpur.
“Aduh, maaf ya, Ton! Aku nggak sengaja ngedorong kamu! Jadinya kamu yang jatuh. Maaf ya. Kamu nggak apa-apa, kan?,” ucap Wulan meminta maaf. Ia lalu bangun dengan dibantu Fifi dan Oliv. Tampaknya ia masih kaget dengan kejadian barusan.
“Iya, nggak apa-apa. Cuma kotor bajunya,” jawab Sulthon sambil bangkit dan membersihkan bajunya dari lumpur.
Ega dan Andi bukannya merasa kasihan, malah menertawakan Sulthon. Tapi mereka membantu membersihkan baju Sulthon. Kemudian mereka menyusul anak-anak perempuan yang sudah berjalan duluan.
Sampai di kebun teh, kami berfoto-foto. Udaranya sangat sejuk. Baru sebentar kami menyusuri kebun teh, hujan mulai turun. Semakin licin tanah yang kami pijak.
“Gimana nih? Udah mulai hujan. Apa kita balik lagi saja?” kata Dina mulai panik.
“Wah, jangan! Percuma kita sudah susah-susah kesini!” bantah Aryo sambil melindungi kamera yang ia bawa dari hujan.
“Terus, sekarang kita mesti gimana?” tanyaku juga mulai panik. Hujan semakin lebat.
“Kita jalan aja terus. Ikutin jalan ini,” kata Andi, lalu menunjukkan arah dan menuntun teman-temannya.
“Memang kamu tahu jalan disini, Ndi?” tanya Aryo ragu.
“Ya udah. Ikutin aja feeling aku,” jawab Andi sok yakin.
Anak perempuan diam saja. Mereka nggak tahu sama sekali jalan pulang. Mereka pasrah mengikuti Andi daripada nggak bisa pulang sama sekali. Hujan mulai reda. Kami semua kemudian singgah di sebuah rumah yang terbuat dari bambu. Di dalamnya tidak ada orang. Hanya ada tumpukan jerami. Kami beristirahat disana.
“Akhirnya sampai juga!” kata Andi kemudian duduk dan menselonjorkan kaki.
“Sampai gimana, Ndi? Ini sih, namanya kita masih nyasar, tau!” kata Ega sambil mendorong badan Andi.
“Ya, daripada kita berkeliaran di jalan dan nggak tahu arah, lebih baik kita istirahat dulu disini,” jawab Andi kalem.
Sementara itu, Aryo, Raihan, dan Sulthon melihat air terjun. Tak jauh dari rumah itu.
“Eh, sini lihat! Ada air terjun disana!” teriak Aryo pada yang lainnya sambil menunjuk ke arah sekitar pepohonan.
Semuanya keluar dari rumah itu dan melihat ke arah yang ditunjuk oleh Aryo.
“Ke sana, yuk! Nanti kita foto-foto disana!” kata Lintang girang.
“Boleh juga. Ayo kesana!” sambut Dina dan yang lainnya semangat.
Meski jalannya licin apalagi sehabis hujan, tapi mereka tetap bersemangat menuruni tangga tanah yang licin itu. Namun Iko dan Fifi memilih untuk tidak ikut ke air terjun.
“Kenapa kalian nggak ikutan?” tanya Raihan pada Fifi dan Iko.
“Aku mau nemenin Iko, soalnya kalau kedinginan, asmanya bisa kambuh,” jawab Fifi sambil membawa Iko masuk.
“Sohib banget kalian berdua,” komentar Raihan, kemudian menyusul anak-anak lain ke air terjun.
Di air terjun, airnya sangat dingin. Kami bermain air disana, saling mencipratkan air, dan tak lupa berfoto-foto. Tapi beberapa menit kemudian, hujan deras pun turun kembali. Kami segera kembali ke rumah bambu tadi dengan menaiki undakan tanah yang licin.
Tiba di rumah bambu tadi, kami terduduk kelelahan. Baju kami basah kuyup, tapi untungnya tas tadi kami tinggal di dalam bis, jadi tidak ikut kebasahan. Hujan deras masih mengguyur di luar sana. Aku melihat jam dari handphone. Sudah jam setengah tiga. Sebentar lagi kami harus segera berkumpul bersama guru-guru lainnya di dekat bis. Aku memberitahu yang lainnya.
“Udah jam setengah tiga, nih. Sebentar lagi, kan, kita disuruh kumpul,”
“Oh iya ya! Waduh, kalau hujan seperti ini terus, gimana kita bisa pulang?” kata Ayu pada yang lainnya.
“Kita telpon Bu Sawitri aja! Bilang kalau kita terjebak hujan di kebun teh,” usul Lintang.
“Bener juga. Nih, pakai saja handphone aku,” kata Fifi, lalu menyerahkan handphonenya pada Lintang.
Lintang meraih handphone itu dan mencoba menghubungi wali kelas. Namun saat dicoba tidak bisa. Ternyata tidak ada sinyal handphone disana.
“Waduh, kok nggak ada sinyalnya, ya?” kata Lintang sambil melangkah ke dekat pintu untuk mencari sinyal.
Semuanya melihat ke handphone masing-masing yang untungnya tidak ikut basah karena kehujanan tadi. Memang benar, sinyalnya tidak ada. Lintang masih berusaha mencari sinyal. Beberapa menit kemudian, sinyal handphone itu muncul seiring redanya hujan. Segera ia menghubungi wali kelas. Semuanya harap-harap cemas menanti hasil pembicaraan Lintang dengan Bu Sawitri.
Tak sampai semenit, Lintang mematikan handphonenya. Semuanya bertanya.
“Gimana, Lin? Apa kata Bu Sawitri?”
“Bu sawitri bilang kalau kita disuruh nunggu hujan dulu sampai agak reda, setelah reda langsung kita cari jalan pulang. Guru-guru dan anak-anak lainnya bersedia menunggu disana,” jawab Lintang pada teman-temannya.
“Itu hujan udah agak reda. Ayo kita segera cari jalan pulang!” kata Andi, lalu memimpin teman-temannya.
Baru beberapa langkah mereka berjalan, lewatlah Nabil dan Sigit bersama anak-anak kelas lainnya.
“Nabil!” panggil Ega.
Nabil menoleh, “Lo, kok, kalian masih disini?” tanyanya.
Ega menghampiri Nabil dan Sigit.
“Kalian tahu nggak, jalan balik ke tempat guru-guru dan anak-anak lain kumpul?”
“Makanya kita sekarang mau kesana,” jawab Sigit.
“Ya udah kita bareng aja,” kata Ega. Lalu menoleh pada anak-anak lain yang berkumpul di belakangnya.
“Ayo, kita ikutin Nabil sama Sigit aja!”
Kami pun mengikuti rombongan Nabil dan Sigit. Meski diiringi gerimis dan lagi-lagi melewati jalan yang becek, sambil berlari kami mengikuti mereka. Supaya memudahkan kami berlari, akhirnya kami melepaskan sepatu dan mengumpulkannya pada sebuah plastik besar, yang kemudian dibawa oleh Ega. Ternyata jalannya berbeda dengan jalan sewaktu berangkat tadi. Kali ini tidak melewati tanjakan yang licin, tetapi melewati rerumputan pendek yang basah oleh hujan.
Bermula dari Ega yang jatuh gara-gara terpeleset rumput yang basah, anak laki-laki lainnya mengikuti jejak Ega. Mereka sengaja terpeleset, lalu meluncur di atas rumput yang basah itu. Kemudian tertawa bersama. Dengan baju yang basah kami semua terus berlari, hingga sampailah di tempat guru-guru dan anak-anak lain berkumpul. Lalu kami segera masuk ke bis, mengambil tas masing-masing dan membawanya keluar. Kemudian menuju kamar mandi terdekat, untuk berganti baju. Beruntung aku dan teman-teman membawa baju ganti. Kami buru-buru mandi sekalian dan berganti baju, lalu berkumpul di dekat bis.
Kepala sekolah memberi tahu kami untuk mempersiapkan panggung untuk acara perpisahan nanti malam. Kami berbagi tugas. Ada yang mendirikan panggung, ada yang mempersiapkan alat-alat lain untuk acara. Aku dan teman-teman mendaftarkan acara yang akan kelas kami bawakan pada panitia acara. Lalu kami sekelas berkumpul untuk berlatih nyanyi lagi sebelum tampil di panggung nanti.
Acara perpisahan dimulai pukul setengah delapan malam, setelah kami selesai sholat dan makan. Dimulai dari sambutan kepala sekolah, ketua panitia, lalu wali kelas. Setelah itu acara hiburan. Kami menunggu giliran kelas kami untuk menampilkan hiburan. Tak lama, Dina dan Fifi maju ke panggung untuk membacakan puisi dengan diiringi petikan gitar Raihan. Lalu giliran kami sekelas untuk bernyanyi. Lagu My Love-nya Westlife pun kami nyanyikan. Setelah selesai acara hiburan, dilanjutkan acara api unggun. Aku dan teman-teman duduk lesehan membentuk lingkaran di atas rumput yang masih agak basah. Kami merenungi apa yang kami telah alami selama tiga tahun ini dan peristiwa yang terjadi hari ini.
“Tiga tahun tuh, ternyata cepet banget, ya,” kata Dina pelan.
Semuanya mengangguk.
“Terutama hari ini,” kata ku,” Waktu di kebun teh tadi. Nggak biasanya anak cowok bantuin kita. Bahkan mereka sampai ikut-ikutan nyasar bareng kita,”
“Itu bener,” kata Fifi,” Pengalaman hari ini tuh, nggak bakal aku lupain. Pertama kalinya anak cowok nggak menang sendiri. Anak cowok dan anak cewek saling kerjasama, saling tolong menolong. Ternyata mereka semua itu sebenarnya baik, tapi kita aja yang anggap mereka anak-anak bandel dan jahil,”
“Hari ini kita jadi saling mengerti. Bahwa di antara kita semua seperti layaknya bersaudara. Tapi sebentar lagi kita akan berpisah. Kita harus berjanji, akan terus mengingat peristiwa hari ini, baik cewek maupun cowok, untuk mengingatkan bahwa persahabatan kita tak akan hilang karena terpisah oleh jarak,” kata Lintang, lalu mengisyaratkan untuk saling memeluk teman-temannya.
Kemudian malam itu, setelah acara perpisahan selesai, kami pun pulang, dengan membawa sebuah pengalaman dan kenangan yang tidak akan pernah kami lupakan.
Komentar
Posting Komentar